Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kerajaan Sunda

Kerajaan Sunda: Jejak Kejayaan, Budaya, dan Warisan Tatar Pasundan

Kerajaan Sunda, yang berdiri sejak abad ke-7 hingga abad ke-16, adalah salah satu peradaban paling gemilang di Nusantara, yang wilayahnya mencakup Jawa Barat, Banten, dan sebagian Jawa Tengah. Berpusat di Pakuan Pajajaran (kini Bogor), kerajaan ini dikenal karena kebudayaannya yang kaya, sistem pemerintahan yang terorganisasi, dan tokoh legendaris seperti Prabu Siliwangi. Artikel ini akan mengajak Anda menelusuri sejarah panjang Kerajaan Sunda, dari asal-usulnya pada masa Tarumanegara hingga runtuhnya Pajajaran, sambil mengungkap warisan budaya, seni, dan nilai-nilai Kasundaan yang tetap hidup hingga kini. 

Sejarah Kerajaan Sunda tidak hanya tentang kejayaan politik, tetapi juga tentang bagaimana masyarakatnya membangun identitas yang kuat melalui bahasa, seni, dan hubungan harmonis dengan alam. Dari Prasasti Tugu yang menceritakan kehebatan Purnawarman hingga naskah Carita Parahyangan yang mengabadikan kisah Prabu Siliwangi, Kerajaan Sunda menawarkan wawasan tentang peradaban yang maju jauh sebelum era kolonial. Menurut data arkeologi, wilayah Sunda telah menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan sejak abad ke-2 M, dengan kerajaan seperti Salakanagara sebagai cikal bakal. 

Kerajaan Sunda juga dikenal karena nilai-nilai Kasundaan—cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (cerdas)—yang menjadi panduan hidup masyarakatnya. Nilai-nilai ini tercermin dalam sistem pemerintahan, tradisi seperti Seren Taun, dan kesenian seperti wayang golek dan angklung. Meski Pajajaran runtuh pada 1579 akibat serangan Kesultanan Banten, warisan Sunda tetap hidup dalam budaya, bahasa, dan semangat masyarakat Jawa Barat. Artikel ini akan menyoroti bagaimana Kerajaan Sunda membentuk identitas budaya yang kuat, yang masih relevan di tengah modernisasi.

Mengapa mempelajari Kerajaan Sunda begitu penting? Karena sejarahnya tidak hanya menceritakan masa lalu, tetapi juga memberikan pelajaran tentang ketahanan, kearifan lokal, dan harmoni sosial. Dari sistem irigasi Purnawarman hingga diplomasi internasional Pajajaran dengan Portugis, Kerajaan Sunda menunjukkan bahwa masyarakat Nusantara telah memiliki peradaban canggih sejak ribuan tahun lalu. Dengan populasi Sunda yang mencapai 42 juta jiwa pada 2025 (sekitar 15% penduduk Indonesia), warisan kerajaan ini terus membentuk identitas nasional. 

Terakhir, artikel ini akan menggabungkan fakta sejarah, legenda, dan analisis budaya untuk memberikan gambaran holistik tentang Kerajaan Sunda. Kami akan menguraikan 15 aspek utama, dari asal-usul hingga warisan modern, dengan referensi dari sumber terpercaya seperti naskah kuno, temuan arkeologi, dan studi akademik. Setiap subjudul dirancang untuk memberikan wawasan mendalam, disertai contoh praktis dan konteks lokal, sehingga Anda bisa merasakan kehidupan di Tatar Pasundan. Mari kita mulai perjalanan ini untuk mengenal Kerajaan Sunda, dari kejayaannya hingga warisan abadinya!

1. Asal-Usul Kerajaan Sunda: Dari Salakanagara ke Tarumanegara

Kerajaan Sunda memiliki akar yang dalam, dimulai dari Salakanagara, kerajaan tertua di Nusantara yang berdiri sekitar abad ke-2 M di wilayah Banten. Menurut naskah Wangsekerta, Salakanagara didirikan oleh Dewawarman I, seorang pedagang India yang menikah dengan putri lokal, membentuk dinasti awal Sunda. Temuan arkeologi di situs Buni, Bekasi, seperti perhiasan emas dan keramik, menunjukkan bahwa Salakanagara adalah pusat perdagangan dengan pengaruh India, Tiongkok, dan Asia Tenggara. Kerajaan ini meletakkan dasar budaya Sunda, termasuk sistem kekerabatan bilateral dan kepercayaan Sunda Wiwitan, yang memuja leluhur dan alam. Pada abad ke-4 M, Salakanagara digantikan oleh Tarumanegara, yang menjadi puncak awal kejayaan Sunda. Dipimpin oleh Purnawarman, Tarumanegara dikenal melalui tujuh prasasti, seperti Prasasti Tugu dan Ciaruteun, yang ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Prasasti Tugu mencatat bahwa Purnawarman membangun kanal irigasi sepanjang 11 kilometer untuk mencegah banjir dan mendukung pertanian, menunjukkan kemajuan teknologi dan perhatian pada kesejahteraan rakyat. Nama “Sunda” pertama kali muncul dalam Prasasti Kebonkopi II (1030 M), yang kemungkinan merujuk pada ibu kota Tarumanegara.

Peralihan dari Salakanagara ke Tarumanegara mencerminkan perkembangan budaya dan politik Sunda. Jika Salakanagara lebih berfokus pada perdagangan, Tarumanegara memperkenalkan sistem pemerintahan yang terorganisasi dan pengaruh Hindu yang kuat. Purnawarman, yang digambarkan sebagai titisan Wisnu, menjadi simbol kepemimpinan visioner yang membawa Sunda ke panggung regional. Asal-usul ini menjadi fondasi bagi kerajaan-kerajaan berikutnya, seperti Sunda dan Pajajaran, yang terus membawa semangat Kasundaan.

2. Tarumanegara: Kejayaan Awal dan Purnawarman

Tarumanegara, yang berlangsung dari abad ke-4 hingga ke-7 M, adalah periode keemasan awal Kerajaan Sunda. Berlokasi di wilayah Bekasi hingga Bogor, kerajaan ini dipimpin oleh raja-raja seperti Purnawarman, yang memerintah sekitar 395-434 M. Prasasti Ciaruteun menggambarkan Purnawarman sebagai pemimpin yang karismatik, dengan jejak kakinya (disebut sebagai kaki Wisnu) menjadi simbol kekuatan dan keilahian. Prasasti Tugu, yang ditemukan di Jakarta Utara, menyebutkan pembangunan kanal irigasi dan sungai Gomati, menunjukkan bahwa Tarumanegara telah memiliki infrastruktur canggih untuk mendukung pertanian dan perdagangan.

Pengaruh Hindu sangat kuat di Tarumanegara, terlihat dari upacara keagamaan dan seni. Relief kaki Wisnu pada Prasasti Ciaruteun dan Prasasti Jambu menunjukkan bahwa agama Hindu, khususnya aliran Waisnawa, menjadi bagian integral dari kehidupan kerajaan. Tarumanegara juga menjalin hubungan diplomatik dengan Tiongkok, sebagaimana dicatat dalam berita Dinasti Tang, yang menyebutkan kedatangan utusan dari To-lo-mo (kemungkinan Tarumanegara) pada abad ke-5. Hubungan ini memperkuat posisi Tarumanegara sebagai kerajaan maritim yang penting di Nusantara.

Pada 670 M, Tarumanegara pecah menjadi dua kerajaan: Sunda dan Galuh, dengan Sungai Citarum sebagai pembatas. Tarusbawa, raja pertama Kerajaan Sunda, mendirikan ibu kota baru di dekat Sungai Cipakancilan, sementara Galuh dipimpin oleh keturunan Wretikandayun. Meski Tarumanegara berakhir, warisan Purnawarman tetap hidup dalam memori budaya Sunda, dengan kanal irigasinya menjadi bukti kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya. Tarumanegara, dengan demikian, adalah tonggak awal yang membentuk identitas politik dan budaya Sunda.

3. Kerajaan Sunda dan Galuh: Dualisme Kekuasaan

Setelah pecahnya Tarumanegara, Kerajaan Sunda dan Galuh muncul sebagai dua kekuatan utama di Tatar Pasundan. Kerajaan Sunda, yang dipimpin oleh Tarusbawa pada akhir abad ke-7, berpusat di wilayah barat, dekat Sungai Cipakancilan. Naskah Carita Parahyangan menyebutkan bahwa Tarusbawa, yang bergelar Tohaan di Sunda, mempertahankan tradisi leluhur sambil memperluas wilayah melalui pernikahan politik dengan keluarga Galuh. Kerajaan ini dikenal karena stabilitasnya dan hubungan perdagangan dengan kerajaan tetangga seperti Sriwijaya.

Kerajaan Galuh, yang berpusat di Ciamis, didirikan oleh Wretikandayun, cucu Purnawarman. Galuh menjadi pusat kebudayaan Hindu-Buddha, dengan situs seperti Candi Cangkuang (abad ke-8) yang menunjukkan perkembangan seni dan arsitektur. Wretikandayun dikenal sebagai pelopor otonomi daerah, memisahkan Galuh dari Tarumanegara untuk menjaga independensi. Meski sering bersaing, Sunda dan Galuh memiliki ikatan kekerabatan yang kuat, dengan pernikahan antar-dinasti untuk mencegah konflik besar.

Dualisme ini menciptakan dinamika unik dalam sejarah Sunda. Kedua kerajaan saling melengkapi: Sunda lebih berfokus pada perdagangan dan diplomasi, sementara Galuh menjadi pusat kebudayaan dan agama. Tokoh seperti Rakeyan Jamri, raja Sunda yang juga dikenal sebagai Prabu Harisdarma, memperkuat hubungan dengan Galuh melalui perjanjian damai. Meski menghadapi tekanan dari Sriwijaya dan Mataram Kuno, Sunda dan Galuh berhasil mempertahankan identitas budaya mereka, meletakkan dasar bagi kejayaan Pajajaran.

4. Pajajaran: Puncak Kejayaan Kerajaan Sunda

Kerajaan Pajajaran, yang berdiri pada 1482, adalah puncak kejayaan Kerajaan Sunda di bawah pimpinan Sri Baduga Maharaja, yang lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi. Berpusat di Pakuan (kini Bogor), Pajajaran menguasai wilayah luas dari Banten hingga Jawa Tengah bagian barat. Menurut Babad Pajajaran, Prabu Siliwangi dinobatkan pada 3 Juni 1482 dan dikenal sebagai raja yang bijaksana, mempersatukan wilayah yang terpecah, memajukan perdagangan, dan menjaga harmoni sosial. Ia juga dianggap sebagai pelindung budaya dan agama Hindu.

Pajajaran menjadi pusat kebudayaan Sunda, dengan perkembangan seni seperti wayang golek, angklung, dan sastra. Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518) mencatat aturan-aturan sosial dan agama, mencerminkan tata kelola yang terstruktur. Prabu Siliwangi juga menjalin hubungan diplomatik dengan Portugis, menghasilkan Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal pada 1522, yang diteken oleh putranya, Sang Hyang Surawisesa. Perjanjian ini menunjukkan bahwa Pajajaran adalah kerajaan yang terbuka terhadap dunia, menjalin hubungan sejajar dengan bangsa Eropa.

Namun, kejayaan Pajajaran tidak bertahan lama. Tekanan dari Kesultanan Banten dan Cirebon, yang menyebarkan Islam, melemahkan kerajaan. Pada 1579, Pajajaran runtuh setelah serangan Banten di bawah pimpinan Maulana Yusuf. Dalam legenda, Prabu Siliwangi dikatakan “ngahyang” (menghilang) ke alam gaib, menjadi simbol keabadian nilai-nilai Sunda. Meski Pajajaran berakhir, warisannya dalam budaya, seni, dan semangat Kasundaan terus hidup hingga kini.

5. Sistem Pemerintahan dan Struktur Sosial

Sistem pemerintahan Kerajaan Sunda berkembang dari monarki sederhana pada masa Salakanagara menjadi monarki terpusat pada masa Pajajaran. Raja, yang disebut Tohaan atau Prabu, memegang kekuasaan tertinggi, didukung oleh bangsawan (menak) dan penasihat (patih). Menurut naskah Suwasit, Pajajaran memiliki struktur pemerintahan yang hierarkis, dengan rama (kepala desa) dan kabupaten (pengelola wilayah) yang bertanggung jawab atas administrasi lokal. Sistem ini memungkinkan Pajajaran mengelola wilayah luas dengan efisien.

Struktur sosial Sunda didasarkan pada kekerabatan bilateral, yang dikenal sebagai pancakaki. Dalam sistem ini, garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu, mencerminkan kesetaraan gender yang relatif tinggi dibandingkan kerajaan lain di Nusantara. Masyarakat terbagi menjadi tiga kelas: bangsawan (menak), petani dan pedagang (santana), serta budak (kawula). Namun, mobilitas sosial cukup tinggi, terutama melalui pernikahan atau jasa kepada kerajaan, sebagaimana tercatat dalam naskah Amanat Galunggung.

Nilai Kasundaan menjadi landasan tata cara sosial. Prinsip cageur dan bageur mendorong raja dan rakyat untuk hidup sehat dan bermoral, sementara singer menekankan pentingnya introspeksi. Sistem pemerintahan dan sosial ini menciptakan harmoni yang menjadi ciri khas Sunda, terlihat dari tradisi musyawarah dalam pengambilan keputusan dan penghormatan terhadap leluhur. Struktur ini, meski sederhana, menunjukkan bahwa Kerajaan Sunda memiliki tata kelola yang maju untuk zamannya.

6. Ekonomi dan Perdagangan Kerajaan Sunda

Ekonomi Kerajaan Sunda didasarkan pada pertanian, perdagangan, dan kerajinan. Pada masa Tarumanegara, sistem irigasi yang dibangun Purnawarman mendukung produksi padi, yang menjadi komoditas utama. Naskah Carita Parahyangan menyebutkan bahwa Pajajaran memiliki sawah-sawah luas di wilayah Cianjur dan Bogor, yang menghasilkan surplus padi untuk perdagangan. Selain padi, Sunda juga menghasilkan lada, cengkeh, dan kayu cendana, yang diekspor ke India, Tiongkok, dan Timur Tengah melalui pelabuhan seperti Banten dan Sunda Kelapa.

Perdagangan maritim adalah tulang punggung ekonomi Sunda. Pelabuhan Sunda Kelapa (kini Jakarta) menjadi pusat perdagangan internasional, menghubungkan Sunda dengan Malaka, Gujarat, dan Tiongkok. Menurut berita Portugis, Pajajaran mengekspor lada dalam jumlah besar pada abad ke-16, dengan nilai perdagangan mencapai ribuan ton per tahun. Hubungan dengan Portugis, yang dimulai pada 1522, membawa masuknya teknologi pelayaran dan senjata, meski juga meningkatkan ketegangan dengan kerajaan Islam seperti Banten.

Kerajinan juga berkembang pesat, terutama dalam pembuatan perhiasan emas, keramik, dan kain tenun. Temuan arkeologi di situs Buni dan Batujaya menunjukkan bahwa Sunda telah menghasilkan keramik berkualitas tinggi sejak abad ke-1 M. Kerajinan ini tidak hanya untuk kebutuhan lokal, tetapi juga diekspor, memperkuat posisi Sunda sebagai pusat ekonomi regional. Sistem ekonomi yang beragam ini menunjukkan bahwa Kerajaan Sunda memiliki visi jangka panjang dalam membangun kemakmuran.

7. Agama dan Kepercayaan di Kerajaan Sunda

Agama di Kerajaan Sunda berkembang dari kepercayaan animisme dan Sunda Wiwitan pada masa Salakanagara menjadi Hindu-Buddha pada masa Tarumanegara dan Pajajaran. Sunda Wiwitan, yang memuja leluhur dan alam, tetap menjadi inti kepercayaan masyarakat pedesaan, terutama di komunitas seperti Baduy. Menurut naskah Sanghyang Siksakanda Ng Karesian, kepercayaan ini menekankan harmoni dengan alam, dengan ritual seperti Seren Taun untuk menyampaikan rasa syukur atas hasil panen. Pengaruh Hindu-Buddha mulai dominan pada abad ke-4, terutama aliran Waisnawa, sebagaimana terlihat dalam Prasasti Ciaruteun yang memuji Wisnu. Purnawarman, sebagai titisan Wisnu, memimpin upacara keagamaan untuk memperkuat legitimasi kekuasaannya. Candi-candi seperti Cangkuang dan Batujaya menunjukkan perkembangan seni dan arsitektur Hindu-Buddha, meski tidak sebesar candi di Jawa Tengah. Pada masa Pajajaran, Hindu tetap menjadi agama resmi, dengan Prabu Siliwangi sebagai pelindungnya, meski Islam mulai masuk melalui pelabuhan.

Masuknya Islam pada abad ke-15, terutama melalui Kesultanan Cirebon dan Banten, mengubah lanskap agama Sunda. Tokoh seperti Sunan Gunung Jati mempercepat islamisasi, meski masyarakat Sunda mengadopsi Islam secara bertahap, memadukannya dengan tradisi lokal. Kepercayaan Sunda Wiwitan tetap bertahan di kalangan tertentu, menunjukkan fleksibilitas dan ketahanan budaya Sunda dalam menghadapi perubahan agama.

8. Kesenian dan Sastra Kerajaan Sunda

Kesenian Kerajaan Sunda mencerminkan jiwa kreatif masyarakatnya. Wayang golek, seni boneka kayu yang dipentaskan oleh dalang, menjadi salah satu warisan paling ikonik. Awalnya bertema Hindu seperti Ramayana dan Mahabharata, wayang golek berkembang pada masa Pajajaran dengan cerita-cerita lokal, seperti kisah Ciung Wanara. Naskah Babad Pajajaran menyebutkan bahwa Prabu Siliwangi sering menggelar pertunjukan wayang untuk menyatukan rakyat, menunjukkan peran seni sebagai alat diplomasi budaya.

Angklung, alat musik bambu yang dimainkan dengan cara digoyang, juga berkembang sebagai bagian dari ritual pertanian dan keagamaan. Menurut tradisi, angklung digunakan untuk memanggil Dewi Sri, dewi padi, selama musim tanam. Pada masa Pajajaran, angklung menjadi bagian dari upacara kerajaan, sebagaimana tercatat dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Kesenian lain, seperti tari topeng dan degung, juga memperkaya budaya Sunda, dengan musik degung yang mengiringi acara-acara resmi.

Sastra Sunda berkembang melalui naskah-naskah seperti Carita Parahyangan dan Amanat Galunggung, yang ditulis dalam aksara Sunda kuno. Naskah-naskah ini berisi sejarah, aturan sosial, dan nilai-nilai moral, mencerminkan tingkat literasi yang tinggi. Tokoh seperti Prabu Niskala Wastukancana, raja Pajajaran pada abad ke-14, dikenal sebagai pelindung sastra, memastikan bahwa warisan intelektual Sunda terus berkembang. Kesenian dan sastra ini menjadi cerminan kebudayaan tinggi Kerajaan Sunda.

9. Hubungan Diplomatik dan Pengaruh Asing

Kerajaan Sunda dikenal karena keterbukaannya terhadap dunia luar, terutama melalui perdagangan dan diplomasi. Pada masa Tarumanegara, hubungan dengan Tiongkok terjalin melalui misi diplomatik, sebagaimana dicatat dalam berita Dinasti Tang. Utusan dari To-lo-mo membawa upeti seperti gading dan rempah-rempah, menunjukkan bahwa Sunda telah menjadi bagian dari jaringan perdagangan Asia. Pelabuhan seperti Sunda Kelapa menjadi pintu masuk pengaruh asing, dari India hingga Persia. Pada masa Pajajaran, hubungan dengan Portugis menjadi tonggak penting. Pada 1522, Sang Hyang Surawisesa menandatangani Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal di Malaka, yang mengatur perdagangan lada dan perlindungan terhadap ancaman Kesultanan Banten. Perjanjian ini, yang disimpan di Arsip Nasional Lisboa, menunjukkan bahwa Sunda memiliki kecerdasan diplomatik untuk menjalin hubungan sejajar dengan bangsa Eropa. Namun, kedatangan Portugis juga membawa ketegangan, terutama dengan kerajaan Islam tetangga.

Pengaruh asing juga terlihat dalam budaya dan teknologi. Kosakata Sanskerta dan Arab masuk ke dalam bahasa Sunda, sementara teknologi pelayaran dari India meningkatkan kemampuan maritim Sunda. Meski terbuka terhadap pengaruh asing, Kerajaan Sunda tetap mempertahankan identitas budayanya, sebagaimana terlihat dalam tradisi Seren Taun dan kepercayaan Sunda Wiwitan. Diplomasi ini menunjukkan bahwa Sunda adalah kerajaan yang adaptif namun berakar kuat pada tradisi.

10. Tokoh-Tokoh Legendaris Kerajaan Sunda

Kerajaan Sunda melahirkan banyak tokoh legendaris yang menjadi simbol kebijaksanaan dan keberanian. Purnawarman, raja Tarumanegara, adalah tokoh awal yang dikenal karena pembangunan infrastruktur dan pengaruh Hindu. Prasasti Tugu menggambarkannya sebagai pemimpin yang peduli pada rakyat, dengan kanal irigasinya yang meningkatkan hasil pertanian. Nama Purnawarman tetap dikenang sebagai simbol kepemimpinan visioner dalam sejarah Sunda.

Prabu Siliwangi, raja Pajajaran, adalah tokoh paling ikonik. Dalam Babad Pajajaran, ia digambarkan sebagai raja yang adil, yang mempersatukan wilayah Sunda dan melindungi budaya Hindu di tengah masuknya Islam. Kisah “ngahyang”-nya ke alam gaib setelah kekalahan Pajajaran menjadi legenda yang menginspirasi, dengan Gunung Salak sebagai tempat spiritual yang dikaitkan dengannya. Prabu Siliwangi juga dianggap sebagai pelindung nilai Kasundaan, yang tetap relevan hingga kini. Tokoh lain, seperti Sang Hyang Surawisesa, putra Prabu Siliwangi, juga berperan penting. Ia memimpin Pajajaran selama masa transisi dan menjalin perjanjian dengan Portugis, menunjukkan kecerdasan diplomatik. Wanita seperti Dayang Sumbi, meski bersifat mitologis, mencerminkan peran perempuan dalam budaya Sunda, dengan kisahnya tentang kebijaksanaan dan pengorbanan. Tokoh-tokoh ini, baik historis maupun legendaris, menjadi pilar identitas Kerajaan Sunda.

11. Runtuhnya Pajajaran dan Transisi ke Islam

Runtuhnya Pajajaran pada 1579 menandai akhir dari Kerajaan Sunda sebagai entitas politik. Tekanan dari Kesultanan Banten, yang dipimpin oleh Maulana Yusuf, menjadi pemicu utama. Menurut Babad Banten, Banten menyerang Pakuan setelah konflik dengan Pajajaran atas kendali Sunda Kelapa. Sang Hyang Surawisesa, yang memerintah pada 1521-1535, berusaha mempertahankan kerajaan, tetapi kekuatan militer Banten yang didukung oleh Islam terlalu kuat. Pada 1579, Pakuan jatuh, dan Pajajaran lenyap sebagai kerajaan Hindu.

Proses islamisasi mempercepat transisi budaya Sunda. Kesultanan Cirebon, di bawah Sunan Gunung Jati, memainkan peran kunci dalam menyebarkan Islam di wilayah timur Sunda. Tokoh seperti Prabu Kian Santang, yang konon adalah putra Prabu Siliwangi, dianggap sebagai penyebar Islam, meski kisahnya lebih bersifat legendaris. Islam diterima secara bertahap, dengan masyarakat Sunda memadukannya dengan tradisi lokal, seperti Seren Taun dan kepercayaan Sunda Wiwitan, menciptakan sinkretisme budaya yang unik.

Meski Pajajaran runtuh, warisan budayanya tidak hilang. Naskah-naskah seperti Carita Parahyangan terus ditulis, dan seni seperti wayang golek mengalami adaptasi dengan memasukkan tema-tema Islam. Komunitas seperti Baduy dan Kampung Naga mempertahankan tradisi Hindu dan Sunda Wiwitan, menunjukkan ketahanan budaya Sunda. Runtuhnya Pajajaran, meski tragis, menjadi titik awal transformasi budaya yang memperkaya identitas Sunda modern.

12. Arsitektur dan Infrastruktur Kerajaan Sunda

Arsitektur Kerajaan Sunda mencerminkan kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam. Keraton Pajajaran, yang berlokasi di Pakuan, diduga memiliki struktur kayu dengan atap ijuk, sesuai dengan tradisi rumah adat Jolopong. Prasasti Huludayeuh, yang ditemukan pada 1991 di Kawali, menyebutkan bahwa keraton Galuh memiliki parit pertahanan dan tata kota yang terencana, menunjukkan kemajuan arsitektur pada abad ke-14. Candi-candi seperti Cangkuang dan Batujaya, meski sederhana, menunjukkan pengaruh Hindu-Buddha dalam desain.

Infrastruktur Sunda juga maju, terutama dalam pengelolaan air. Kanal irigasi Purnawarman, yang dibangun pada abad ke-4, menjadi bukti keahlian teknik hidrolik Sunda. Naskah Carita Parahyangan menyebutkan bahwa Pajajaran memiliki sistem bendungan dan sawah bertingkat, mendukung produksi padi yang melimpah. Pelabuhan seperti Sunda Kelapa memiliki dermaga kayu dan gudang untuk perdagangan, menunjukkan bahwa Sunda memiliki infrastruktur maritim yang efisien.

Meski banyak bangunan Sunda telah hancur akibat waktu dan perang, warisan arsitekturnya tetap hidup dalam rumah adat seperti Julang Ngapak dan Badak Heuay. Komunitas seperti Kampung Naga di Tasikmalaya terus mempertahankan desain tradisional, dengan rumah panggung yang ramah lingkungan. Arsitektur dan infrastruktur Kerajaan Sunda menunjukkan bahwa masyarakatnya tidak hanya kreatif, tetapi juga memiliki visi jangka panjang dalam pembangunan.

13. Bahasa dan Sastra Sunda

Bahasa Sunda adalah pilar identitas Kerajaan Sunda, dengan bukti tertulis tertua ditemukan pada Prasasti Kawali (abad ke-14), yang ditulis dalam aksara Sunda kuno. Bahasa ini memiliki tingkatan undak usuk basa, dari kasar hingga lemes, yang mencerminkan budaya Sunda yang menghargai sopan santun. Naskah seperti Sanghyang Siksa Kandang Karesian dan Amanat Galunggung menunjukkan bahwa bahasa Sunda digunakan secara formal dalam administrasi, agama, dan sastra, dengan kosakata yang dipengaruhi oleh Sanskerta dan Jawa.

Sastra Sunda berkembang pesat pada masa Pajajaran, dengan naskah-naskah yang berisi sejarah, mitologi, dan aturan sosial. Carita Parahyangan, yang ditulis pada abad ke-16, menceritakan kisah raja-raja Sunda dan Galuh, sementara Babad Pajajaran mengabadikan legenda Prabu Siliwangi. Tokoh seperti Prabu Niskala Wastukancana, yang memerintah pada 1371-1475, dikenal sebagai pelindung sastra, memastikan bahwa naskah-naskah ini ditulis dengan aksara Sunda yang khas. Pengaruh Islam membawa masuknya kosakata Arab, seperti masjid dan salat, ke dalam bahasa Sunda pada abad ke-16. Meski demikian, bahasa Sunda tetap mempertahankan identitasnya, sebagaimana terlihat dalam tradisi lisan seperti pantun dan sisindiran. Hingga kini, bahasa Sunda dituturkan oleh 42 juta orang, dengan dialek seperti Priangan dan Banten yang memperkaya keragaman linguistik. Sastra dan bahasa Sunda adalah bukti intelektualitas tinggi Kerajaan Sunda.

14. Kuliner dan Tradisi Makan Sunda

Kuliner Sunda, yang berkembang sejak masa kerajaan, dikenal dengan kesederhanaan dan kesegarannya. Lalapan, sayuran mentah seperti kolplay, kemangi, dan terong, menjadi ciri khas hidangan Sunda, disajikan dengan sambal terasi yang pedas. Menurut tradisi, lalapan mencerminkan hubungan Sunda dengan alam, dengan bahan-bahan segar yang diambil langsung dari kebun. Nasi timbel, yang dibungkus daun pisang, awalnya adalah bekal petani Sunda, menunjukkan kearifan lokal dalam pengemasan makanan.

Hidangan khas seperti karedok, lotek, dan soto Bandung berkembang sebagai bagian dari tradisi kuliner kerajaan. Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian menyebutkan bahwa raja-raja Sunda sering menggelar jamuan dengan hidangan berbahan lokal, seperti ikan sungai dan sayuran. Pengaruh Hindu membawa penggunaan rempah-rempah seperti kunyit dan jahe, sementara Islam memperkenalkan santan dan teknik memasak dari Melayu. Tradisi makan bersama di atas daun pisang, yang disebut botram, mencerminkan nilai kebersamaan masyarakat Sunda.

Di era modern, kuliner Sunda telah mendunia, dengan restoran-restoran di Bandung, Jakarta, dan luar negeri yang menyajikan nasi timbel dan lalapan. Festival kuliner seperti Pasar Senggol di Bandung membantu melestarikan tradisi makan Sunda. Meski menghadapi tantangan dari makanan cepat saji, kuliner Sunda tetap menjadi simbol identitas budaya, mengingatkan kita pada kearifan leluhur Kerajaan Sunda dalam memanfaatkan alam.

15. Warisan Kerajaan Sunda di Era Modern

Warisan Kerajaan Sunda tetap hidup di era modern, meski menghadapi tantangan globalisasi. Bahasa Sunda, yang dituturkan oleh 42 juta orang, diajarkan sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah Jawa Barat, sementara aksara Sunda mulai digunakan kembali dalam seni dan media. Kesenian seperti wayang golek dan angklung terus berkembang, dengan angklung yang diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda pada 2010. Komunitas seperti Paguyuban Pasundan dan Yayasan Kebudayaan Sunda aktif melestarikan tradisi melalui festival dan pendidikan.

Situs-situs bersejarah, seperti Prasasti Tugu, Ciaruteun, dan reruntuhan keraton Kawali, menjadi destinasi wisata budaya yang menarik ribuan pengunjung setiap tahun. Upaya pelestarian juga dilakukan melalui museum, seperti Museum Sri Baduga di Bandung, yang menyimpan artefak Sunda seperti perhiasan dan naskah kuno. Tokoh modern seperti Dedi Mulyadi, mantan Bupati Purwakarta, telah mempromosikan budaya Sunda melalui revitalisasi situs seperti Situ Buleud, memperkuat kesadaran akan warisan kerajaan.

Namun, tantangan seperti urbanisasi dan berkurangnya penggunaan bahasa Sunda di kota-kota besar tetap ada. Hanya 34,51% masyarakat Sunda tinggal di pedesaan pada 2025, di mana tradisi lebih kuat. Meski begitu, semangat Kasundaan tetap hidup, dengan nilai-nilai seperti cageur dan bageur yang dijunjung dalam kehidupan sehari-hari. Warisan Kerajaan Sunda, dari bahasa hingga seni, adalah bukti ketahanan budaya yang terus menginspirasi generasi kini dan mendatang.

Kesimpulan: Merayakan Warisan Abadi Kerajaan Sunda

Kerajaan Sunda, dari Salakanagara hingga Pajajaran, adalah kisah tentang kejayaan, ketahanan, dan kebudayaan yang kaya. Dari kanal irigasi Purnawarman hingga diplomasi Prabu Siliwangi dengan Portugis, Sunda menunjukkan bahwa Nusantara telah memiliki peradaban maju sejak ribuan tahun lalu. Nilai Kasundaan—cageur, bageur, bener, singer, dan pinter—menjadi panduan hidup yang relevan hingga kini, mencerminkan harmoni antara manusia, alam, dan budaya. Artikel ini telah menguraikan 15 aspek utama sejarah Sunda, dari asal-usul hingga warisan modern, untuk memberikan gambaran holistik tentang Tatar Pasundan.

Warisan Kerajaan Sunda tidak hanya terbatas pada prasasti atau naskah kuno, tetapi juga hidup dalam bahasa, seni, dan tradisi masyarakatnya. Wayang golek, angklung, dan lalapan adalah simbol kebudayaan yang terus berkembang, sementara komunitas seperti Baduy dan Kampung Naga menjaga tradisi leluhur di tengah modernisasi. Pelestarian budaya Sunda, melalui pendidikan, festival, dan media, memastikan bahwa warisan ini tetap relevan di era global. Setiap kunjungan ke situs bersejarah atau partisipasi dalam Seren Taun adalah cara untuk menghidupkan kembali semangat Sunda.

Tantangan modern, seperti urbanisasi dan pengaruh budaya global, memang nyata, tetapi semangat Kasundaan terus mendorong masyarakat Sunda untuk beradaptasi tanpa kehilangan identitas. Tokoh-tokoh seperti Purnawarman, Prabu Siliwangi, dan Sang Hyang Surawisesa bukan hanya nama dalam sejarah, tetapi simbol kebijaksanaan dan keberanian yang menginspirasi. Dengan memahami sejarah Kerajaan Sunda, kita dapat menghargai kontribusi besar suku Sunda dalam membentuk identitas Indonesia, dari seni hingga nilai-nilai kemanusiaan.

Artikel ini mengajak Anda untuk tidak hanya mengenal Kerajaan Sunda, tetapi juga turut melestarikan warisannya. Kunjungi situs bersejarah seperti Prasasti Ciaruteun, pelajari bahasa Sunda, atau nikmati pertunjukan wayang golek untuk merasakan keindahan budaya ini. Dengan melestarikan warisan Sunda, kita memperkuat akar budaya bangsa dan memastikan bahwa nilai-nilai leluhur tetap hidup untuk generasi mendatang. Jangan lupa bagikan artikel ini untuk menyebarkan keindahan Tatar Pasundan kepada dunia!

Jelajahi artikel lain di situs kami tentang budaya Nusantara, seperti sejarah Kerajaan Majapahit, tradisi Bali, atau kisah pahlawan nasional. Anda juga bisa mendalami topik seperti pelestarian bahasa daerah atau kearifan lokal dalam menghadapi perubahan iklim. Setiap langkah untuk memahami budaya adalah cara untuk memperkaya diri dan menghormati leluhur. Mari jadikan semangat Kasundaan sebagai inspirasi untuk hidup yang lebih harmonis dan bermakna!

Terakhir, Kerajaan Sunda mengajarkan kita bahwa warisan budaya adalah harta yang harus dijaga. Dari kanal irigasi hingga naskah sastra, Sunda telah meninggalkan jejak yang tak ternilai. Dengan menghidupkan kembali cerita-cerita ini melalui pendidikan, seni, dan pariwisata, kita dapat memastikan bahwa Kerajaan Sunda tidak hanya menjadi kenangan, tetapi juga sumber inspirasi abadi. Selamat menikmati perjalanan budaya ini, dan mari bersama-sama merayakan kejayaan Tatar Pasundan!

FAQ: Pertanyaan Umum tentang Kerajaan Sunda

1. Kapan Kerajaan Sunda berdiri?

Kerajaan Sunda secara resmi berdiri pada abad ke-7 M setelah pecahnya Tarumanegara, dengan Tarusbawa sebagai raja pertama. Namun, akarnya dapat ditelusuri hingga Salakanagara pada abad ke-2 M, yang dianggap sebagai cikal bakal peradaban Sunda.

2. Siapa tokoh paling terkenal dari Kerajaan Sunda?

Prabu Siliwangi, raja Pajajaran yang dinobatkan pada 1482, adalah tokoh paling terkenal. Ia dikenal sebagai pemimpin bijaksana yang memajukan budaya dan perdagangan, serta menjadi simbol nilai *Kasundaan* dalam legenda Sunda.

3. Apa warisan budaya utama Kerajaan Sunda?

Warisan utama meliputi bahasa Sunda, kesenian seperti wayang golek dan angklung, kuliner lalapan, dan nilai *Kasundaan* (cageur, bageur, bener, singer, pinter). Naskah seperti *Carita Parahyangan* dan situs seperti Prasasti Tugu juga menjadi bukti kebudayaan tinggi Sunda.

4. Mengapa Pajajaran runtuh?

Pajajaran runtuh pada 1579 akibat serangan Kesultanan Banten di bawah Maulana Yusuf, yang didorong oleh konflik atas Sunda Kelapa dan penyebaran Islam. Tekanan dari Cirebon dan melemahnya militer Pajajaran juga berkontribusi pada kehancurannya.

5. Bagaimana Kerajaan Sunda berhubungan dengan Portugis?

Pada 1522, Sang Hyang Surawisesa menandatangani Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal, yang mengatur perdagangan lada dan perlindungan terhadap Banten. Hubungan ini menunjukkan kecerdasan diplomatik Sunda dalam menjalin hubungan dengan Eropa.

6. Apa peran agama di Kerajaan Sunda?

Agama Hindu-Buddha dominan hingga abad ke-15, dengan kepercayaan Sunda Wiwitan sebagai akar spiritual. Islam masuk melalui Cirebon dan Banten, menciptakan sinkretisme budaya. Komunitas seperti Baduy masih mempertahankan Sunda Wiwitan hingga kini.

7. Bagaimana cara melestarikan warisan Kerajaan Sunda?

Pelestarian dapat dilakukan dengan mempelajari bahasa Sunda, mengunjungi situs bersejarah seperti Prasasti Ciaruteun, dan mendukung kesenian seperti angklung. Festival budaya, pendidikan, dan media juga membantu menjaga warisan Sunda tetap hidup.